Rabu, 14 Mei 2014

PEMUKIMAN KUMUH DAN TAK LAYAK HUNI



42 Titik Jadi Sasaran Permukiman Kumuh
Sebagian Besar di Semarang Utara

SEMARANG- Jumlah permukiman kumuh saat ini merebak di puluhan titik lokasi. Jika pada tahun 1963 terdapat 21 lokasi permukiman kumuh (slums and squatters), data penelitian tahun 2002 menunjukkan jumlah itu meningkat menjadi 42 lokasi. Hasil penelitian Universitas Islam Sultan Agung Semarang (Unissula) tahun 2002 menunjukkan 13 titik lokasi permukiman kumuh berada di Kecamatan Semarang Utara. Titik-titik permukiman kumuh, kata Ketua Pusat Studi Planologi Unissula M Agung Ridlo, antara lain berada di daerah Krakasan, Makam Kobong, Stasiun Tawang, Bandarharjo, Kebonharjo, Kampung Melayu, Tanjung Mas, Dadapsari, Purwosari, Plombokan, dan Panggung.

Berdasarkan hasil studi yang sama, sejumlah kawasan di Kecamatan Tugu juga dihuni oleh kaum suburban. Agung menemukan permukiman kumuh di Mangkang Kulon, Mangkang Wetan, Mangunharjo, Randugarut, Karanganyar, Tugurejo, dan Jrakah. ''Daerah Semarang bagian utara menjadi daya tarik tersendiri bagi para pendatang. Kawasan dekat pantai seperti Bandarharjo dan Mangunharjo menjadi pusat perdagangan dan industri yang menarik orang untuk datang dan bekerja,'' kata dia.

Proses terbentuknya permukiman kumuh, lanjut Agung, terjadi karena para pekerja memilih tinggal di dekat tempat kerja. Perkembangan Kota Semarang bermula dari sekitar pelabuhan yang diikuti pertumbuhan industri di sekitar Genuk dan Kaligawe. Sementara perdagangan dan jasa berada di sekitar Johar. Perkembangan yang begitu pesat di pusat perdagangan, industri, dan jasa mengakibatkan kebutuhan akan lahan semakin meningkat. Sementara pada bagian lain, para pendatang seringkali tidak memiliki keterampilan dan bekal yang cukup dari kampung halaman.

''Mereka kemudian mencari tempat tinggal seadanya di dekat pabrik atau pantai. Sedikit demi sedikit permukiman kumuh pun terbentuk.''

Kondisi permukiman kumuh itu berbeda dengan standar permukiman yang ada di kota. Permukiman itu, acap tidak layak huni lantaran kotor, lusuh, tidak sehat, tidak tertib, dan tidak teratur. Agung mengelompokkan permukiman kumuh yang ada di Kota Semarang ke dalam empat model, yakni model optimal, pathological, premature, dan intermediate.

Model pathological, biasanya terjadi di lokasi yang berdekatan dengan pusat aktivitas perdagangan, pertokoan, dan pasar. Pada lokasi tersebut, terlalu banyak migran berpendapatan kecil. Sementara model intermediate berada di pusat aktivitas pergudangan, transportasi kereta api, pelabuhan, atau pusat perdagangan. Sedangkan model prematur dapat dilihat pada permukiman nelayan di pinggiran kota. Pada optimal model, infrastruktur permukiman potensial namun pengakuan atas lahan tidak ada. ''Beberapa di antara permukiman kumuh tipe optimal diakses berbagai fasilitas seperti listrik dari PLN. Namun sejatinya warga yang tinggal di sana rentan digusur karena menempati tanah yang bukan miliknya,'' kata Agung.

Peraturan tata ruang, seharusnya menjadi referensi berbagai pengambil kebijakan lintas sektoral. PT PLN , misalnya, seharusnya memiliki referensi tempat-tempat yang tidak direkomendasikan sebagai permukiman dan mana yang bukan.

Program permukiman murah dan sederhana pun tidak cukup mampu menyentuh kebutuhan warga akar rumput. Jika tidak, penataan kota akan semakin tumpang tindih dan masalah permukiman tidak akan terselesaikan. (H5-84)

Saran:
            Banyak masyarakat miskin yang memilih membuat rumah seadanya dan tidak layak huni karena mereka tidak mampu membuat rumah yang layak huni.Selain itu karena rumah yang mereka buat tersebut dekat dengan lingkungan kerja mereka sehingga tidak mengeluarkan biaya saat pergi bekerja.Seharusnya pemerintah lebih memerhatikan kondisi tersebut karena itu akan membuat kota Semarang semakin kumuh.Pemerintah harus mencari solusi agar supaya perkampungan kumuh di kota Semarang semakin berkurang atau bahkan tidak ada sama sekali.Ini juga tugas seorang arsitek yang harus bisa membuat perkampungan yang kumuh tersebut menjadi area atau wilayah yang bersih dan layak huni.Di kota-kota lain sudah pernah mencoba membuatkan rumah susun untuk masyarakat miskin,namun mereka memilih kembali ke rumah lamanya karena jarak rumah susun jauh dengan tempat mereka bekerja.Untuk menanggulangi hal tersebut pemerintah harus juga membuatkan lapangan pekerjaan bagi mereka karena masih banyak dari mereka yang masih menjadi pengangguran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar