42
Titik Jadi Sasaran Permukiman Kumuh
Sebagian
Besar di Semarang Utara
SEMARANG- Jumlah permukiman
kumuh saat ini merebak di puluhan titik lokasi. Jika pada tahun 1963 terdapat
21 lokasi permukiman kumuh (slums and squatters), data penelitian tahun 2002
menunjukkan jumlah itu meningkat menjadi 42 lokasi. Hasil penelitian
Universitas Islam Sultan Agung Semarang (Unissula) tahun 2002 menunjukkan 13
titik lokasi permukiman kumuh berada di Kecamatan Semarang Utara. Titik-titik
permukiman kumuh, kata Ketua Pusat Studi Planologi Unissula M Agung Ridlo,
antara lain berada di daerah Krakasan, Makam Kobong, Stasiun Tawang, Bandarharjo,
Kebonharjo, Kampung Melayu, Tanjung Mas, Dadapsari, Purwosari, Plombokan, dan
Panggung.
Berdasarkan hasil studi yang sama,
sejumlah kawasan di Kecamatan Tugu juga dihuni oleh kaum suburban. Agung
menemukan permukiman kumuh di Mangkang Kulon, Mangkang Wetan, Mangunharjo,
Randugarut, Karanganyar, Tugurejo, dan Jrakah. ''Daerah Semarang bagian utara
menjadi daya tarik tersendiri bagi para pendatang. Kawasan dekat pantai
seperti Bandarharjo dan Mangunharjo menjadi pusat perdagangan
dan industri yang menarik orang untuk datang dan bekerja,'' kata dia.
Proses terbentuknya permukiman kumuh,
lanjut Agung, terjadi karena para pekerja memilih tinggal di dekat tempat
kerja. Perkembangan Kota Semarang bermula dari sekitar pelabuhan yang diikuti
pertumbuhan industri di sekitar Genuk dan Kaligawe. Sementara perdagangan dan
jasa berada di sekitar Johar. Perkembangan yang begitu pesat di pusat
perdagangan, industri, dan jasa mengakibatkan kebutuhan akan lahan semakin
meningkat. Sementara pada bagian lain, para pendatang seringkali tidak memiliki
keterampilan dan bekal yang cukup dari kampung halaman.
''Mereka kemudian mencari tempat
tinggal seadanya di dekat pabrik atau pantai. Sedikit demi sedikit permukiman
kumuh pun terbentuk.''
Kondisi permukiman kumuh itu berbeda
dengan standar permukiman yang ada di kota. Permukiman itu, acap tidak layak
huni lantaran kotor, lusuh, tidak sehat, tidak tertib, dan tidak teratur. Agung
mengelompokkan permukiman kumuh yang ada di Kota Semarang ke dalam empat model,
yakni model optimal, pathological, premature, dan intermediate.
Model pathological, biasanya terjadi
di lokasi yang berdekatan dengan pusat aktivitas perdagangan, pertokoan, dan
pasar. Pada lokasi tersebut, terlalu banyak migran berpendapatan kecil.
Sementara model intermediate berada di pusat aktivitas pergudangan,
transportasi kereta api, pelabuhan, atau pusat perdagangan. Sedangkan model
prematur dapat dilihat pada permukiman nelayan di pinggiran kota. Pada optimal
model, infrastruktur permukiman potensial namun pengakuan atas lahan tidak ada.
''Beberapa di antara permukiman kumuh tipe optimal diakses berbagai fasilitas
seperti listrik dari PLN. Namun sejatinya warga yang tinggal di sana rentan
digusur karena menempati tanah yang bukan miliknya,'' kata Agung.
Peraturan tata ruang, seharusnya
menjadi referensi berbagai pengambil kebijakan lintas sektoral. PT PLN ,
misalnya, seharusnya memiliki referensi tempat-tempat yang tidak
direkomendasikan sebagai permukiman dan mana yang bukan.
Program permukiman murah dan
sederhana pun tidak cukup mampu menyentuh kebutuhan warga akar rumput. Jika
tidak, penataan kota akan semakin tumpang tindih dan masalah permukiman tidak
akan terselesaikan. (H5-84)
Saran:
Banyak masyarakat miskin yang
memilih membuat rumah seadanya dan tidak layak huni karena mereka tidak mampu
membuat rumah yang layak huni.Selain itu karena rumah yang mereka buat tersebut
dekat dengan lingkungan kerja mereka sehingga tidak mengeluarkan biaya saat
pergi bekerja.Seharusnya pemerintah lebih memerhatikan kondisi tersebut karena
itu akan membuat kota Semarang semakin kumuh.Pemerintah harus mencari solusi
agar supaya perkampungan kumuh di kota Semarang semakin berkurang atau bahkan
tidak ada sama sekali.Ini juga tugas seorang arsitek yang harus bisa membuat
perkampungan yang kumuh tersebut menjadi area atau wilayah yang bersih dan
layak huni.Di kota-kota lain sudah pernah mencoba membuatkan rumah susun untuk
masyarakat miskin,namun mereka memilih kembali ke rumah lamanya karena jarak
rumah susun jauh dengan tempat mereka bekerja.Untuk menanggulangi hal tersebut
pemerintah harus juga membuatkan lapangan pekerjaan bagi mereka karena masih
banyak dari mereka yang masih menjadi pengangguran.